Waktu itu ya seperti itu. Terasa cepat kala berada dipenghujung.
Saya tidak pernah menyangka bisa melewatinya. Biar bagaimanapun experience kali ini jauh di luar ekspektasi saya. Saya betul-betul keluar dari zona nyaman. Hidup tanpa air bersih, listrik dan signal, suatu hal yang bagi manusia modern merupakan kebutuhan primer, bagi saya adalah sesuatu yang luar biasa. Mungkin jika hal seperti itu hanya sebatas hitungan minggu atau bulan, akan menjadi sangat menyenangkan. Tapi jika menjadi tahunan, bukankah ceritanya menjadi lain? Walau toh akhirnya saya berhasil melewatinya.
2 Tahun, waktu yang diberikan kementerian untuk saya mengaplikasikan apa yang saya pelajari disini. Walau kadang praktek itu tak melulu sesuai teori. Disini saya baru memahami tagline medicine is art.
Kala dulu saya menggunakan metronidazole flash sebagai kompres kasus-kasus ulkus. Atau bahkan mendressingnya dengan daryantul atau lumatul, kali ini saya menggantinya dengan metronidazole tablet yang dihancurkan menjadi bubuk.
Saya juga jadi betul-betul mengetahui the power of tampon. Waktu itu saya mendapat kasus perdarahan pervaginam. Kondisi umumnya saat itu shock hemorragik. Yang saya lakukan adalah guyur, memberi semua obat anti perdarahan serta ergometrin dan tampon. Saat melakukan HB serial, memang terlihat penurunan yang signifikan. Dari 8 menjadi di bawah 6. Tapi karena setelah 2 kali mengganti tampon, perdarahannya tak lagi aktif, saya memutuskan kondisi emergensi pasien dapat teratasi.
Kenapa tidak saya rujuk? Andai merujuk semudah itu. Tidak adanya akses (puskesmas tidak memiliki ambulance terapung), jauhnya waktu tempuh (butuh 8-10 jam menuju faskes sekunder), apalagi yang bersangkutan enggan untuk dirujuk, kalau sudah begini saya bisa apa. Saya hanya mampu mengerahkan semua hal yang saya ketahui dan menyerahkannya kepada Allah SWT. Biar bagaimanapun kekuatan doa disini memiliki peran yang begitu besar. Bukankah sudah menjadi janji Allah SWT, bahwa disetiap kesulitan pasti ada kemudahan? And I believe it.
Saya juga jadi mengenal apa itu decompression sickness. Kasus yang tidak pernah saya temui selama kepaniteraan ataupun proses internsip. Kasus yang biasa terjadi pada penyelam tradisional, akibat pemakaian compressor hingga menimbulkan emboli. Manifestasinya ya kelumpuhan seluruh otot. Tergantung bagian mana yang terkena. Biasanya yang banyak terjadi dari pusar ke bawah. Solusinya sebenarnya harus masuk chamber dalam tempo waktu maksimal 6 jam pasca kejadian. Tapi lagi-lagi waktu tersebut tidak mencukupi untuk sampai di faskes rujukan. Jadi paling saya hanya menyampaikan kalau ada kasus seperti itu, jangan pernah dibawa ke darat. Kembalikan lagi ke laut. Turunkan yang bersangkutan perlahan-lahan. Sebenarnya kalau sesuai teori, ke kedalaman saat terkena. Tapi indikator sederhananya disini apabila yang bersangkutan sudah bisa berkemih. Setelah itu kembali lagi naikkan perlahan. Paling sesampainya di darat saya hanya akan memberikan obat trombolitik dan anti radang (walau ini masih kontroversial). Jika terjadi retensio urine saya akan melakukan pemasangan kateter. Selanjutnya hanya fisioterapi dengan alat sederhana yang biasa dibuat oleh nelayan setempat.
Disini pula saya baru mengetahui air hujan memiliki pengaruh yang signifikan dalam peningkatan kadar asam urat. Pertama kali ketika sampai disini, di otak saya pasti akan banyak kasus kolesterol, pasti tidak ada kasus asam urat. Suatu hari, saya pernah dipanggil karena ada yang sakit di pulau tetangga. Katanya sih tidak mungkin untuk dibawa ke puskesmas, karena tidak bisa bangun. Otak saya berpikir, jangan-jangan stroke. Mengingat morbiditas hipertensi disini sangat tinggi. Efek air asin sepertinya. Saat kesana, saya mendapati kalau kekuatan ototnya normal. Stroke excluded. Saya coba cek asam urat, betapa terkejutnya saya kalau angka di rapid test menunjukkan 18,6. Seingat saya, ini merupakan score asam urat paling besar yang pernah saya temui. Ternyata banyak sekali yang terkena asam urat disini. Padahal tahu tempe ataupun sayuran hijau merupakan barang langka. Pernah ada salah satu pasien, datang dengan keluhan kram di jari-jari, meningkat pada pagi hari. Saat di cek, asam uratnya menunjukkan angka 11,2. Saya langsung lah bernyanyi. Tidak boleh kacang, tahu, tempe, sayuran hijau dan lain sebagainya. Saya beri obat penghilang gejala, sekaligus penurun asam urat yang baru dikonsumsi saat gejala mereda. Saya minta untuk kontrol lagi 1 minggu. Ternyata saat kontrol keluhannya masih sama. Kadar asam uratnya memang turun, tapi hanya menjadi 9,3. Cukup aneh bagi saya. Karena ini pasti ada hubungannya dengan intake. Tapi yang bersangkutan mengaku hanya memakan ikan bakar, air kelapa dan nasi. Saya lalu menanyakan perihal air yang dikonsumsi. Dengan bangga ibu tersebut mengatakan air hujan. Saya iseng mencoba. Karena secara teori hal tersebut tidak ada. Saya minta untuk stop minum dengan menggunakan air hujan begitu pula dengan masak. Mohon untuk mengganti air yang dikonsumsi dengan air dari Balikpapan. Sekedar info, maksud air dari Balikpapan disini adalah air yang diambil dari Balikpapan (sepertinya sih dari PAM) yang dihantarkan melalui kapal ekspor. Saya minta ibu tersebut untuk kontrol lagi 1 minggu kemudian. Betapa terkejutnya saya, karena saat kontrol gejalanya sudah hilang, kadar asam uratnya pun turun menjadi 3,4. Dari situ saya mencoba melakukan penelitian kecil-kecilan secara case control. Hasilnya ternyata memang ada korelasi antara konsumsi air hujan dengan peningkatan kadar asam urat.
Banyak lagi experience lain yang saya alami. Terhantam ombak, mati mesin di tengah laut sampai harus teriak-teriak dan mengibarkan sarung untuk meminta bantuan kapal yang lewat, kapal nyaris terbalik karena tersandung tali jangkar, bangun tengah malam buta untuk menampung air hujan, memanjat pohon ketapang hanya untuk sebatang signal 2G di layar, rela memanjat puing dermaga yang rapuh untuk sebuah pelayanan, mandi dengan menggunakan tissue basah karena kemarau panjang, wudhu dengan aqua 1 gelas, mengarungi selat makassar demi komitmen saya terhadap kementrian kesehatan, dan masih banyak lagi hal lainnya.
Intinya 2 tahun yang cukup berkesan. Walau berat pada awalnya, tapi toh bisa dilalui juga sampai akhir. Terimakasih untuk masyarakat Balabalakang, terutama untuk warga Pulau Salissingan.
Terimakasih untuk sambutan hangat, uluran bantuan, kiriman makanan, terimakasih.
Terimakasih untuk ikan, kelapa, kima/suso, lobster, buras dan ketupat ketika lebaran, bukaan kala ramadhan, undangan setiap moment kebahagiaan, terimakasih.
Terimakasih atas penghormatan, terimakasih telah memprioritaskan, terimakasih telah mengakomodir semua kebutuhan, terimakasih.
Terimakasih untuk semua yang telah diberikan, senyum hangat, sapaan dikala kami lewat, ajakan singgah, terimakasih.
Terimakasih untuk mampu bersabar, mampu menahan emosi, tidak pernah marah-marah, terimakasih.
Mohon maaf apabila selama ini ada tutur ataupun tingkah yang menyakitkan dan kurang berkenan. Saya selalu berdoa yang terbaik untuk masyarakat Balabalakang, khususnya Pulau Salissingan.
Jumat, 21 September 2018
Review Closing Ceremony Asian Games 2018
Kemarin saya melihat closing ceremony asian games 2018 di layar kaca. Ini atas arahan salah satu kawan, mengingat opening ceremony kemarin yang katanya begitu luar biasa. Saya memang tidak melihat opening ceremony kemarin dikarenakan puskesmas keliling. Sempat deg-deg-an, karena Indosiar dan SCTV mendadak blank. Takut seperti tayangan pertandingan asian games yang tidak bisa kami saksikan. Efek parabola mungkin.
Waktu menunjukkan Pk 20.00 WITA, kami mencoba memindahkan channel ke NET Tv. Syukurlah ternyata channel tersebut tidak ikut dibuat blank.
Diawali persembahan marching band dari angkatan bersenjata Republik Indonesia. Terjalin kerjasama apik antara TNI-Polri, bagi warga sipil seperti saya, itu pemandangan yang cukup bikin adem. Setelah itu, dilanjutkan dengan parade atlet, pelatih, official team sampai volunteer yang masuk dalam satu lingkaran besar. Mungkin tujuannya untuk memperlihatkan kepada pemirsa, semuanya bersatu untuk memeriahkan asian games, semuanya pun tampak bahagia tampil di penutupan asian games dan pada akhirnya semuanya adalah pemenang.
Semuanya berjalan sebagaimana mestinya, sampai disaat penyerahan obor dan bendera asian games ke tuan rumah berikutnya. Bagi saya tindakan tersebut sampai disini tidak begitu masalah. Menjadi membuat saya tergelitik kala bendera tuan rumah berikutnya dikibarkan disatu tiang panjang utuh. Kok saya jadi sedih ya? Apa memang suatu keharusan mengibarkan bendera tuan rumah berikutnya disetiap upacara penutupan asian games? Ini yang tidak saya ketahui. Nanti mungkin jika sampai di kota, saya akan lihat closing ceremony asian games 2014 di Incheon. Apakah merah putih kala itu pun berkibar dengan begitu gagahnya di Korea Selatan? Kalau memang hal tersebut merupakan tradisi, ya apa boleh buat. Toh kasarnya bendera kita juga pernah berkibar di satu tiang panjang utuh, dikibarkan dan disaksikan oleh bangsa lain (dalam hal ini Korea Selatan). Tapi jika tidak sampai sebegitunya, jujur saya cukup kecewa.
Ini bukan karena bendera China yang berkibar ya. Saya tidak diajarkan untuk se-rasis itu. Andai yang berkibar bendera Saudi Arabia pun, saya akan sama sedihnya. Karena bagi saya pengibaran bendera itu adalah sesuatu yang sakral. Itu menyangkut kedaulatan. Ketika kita mengibarkan bendera negara lain, berarti kita mengakui negara tersebut. Rasanya seperti terjajah kembali.
Saya jadi ingat tragedi di Surabaya, kala prajurit kita menerobos Hotel Yamato, lalu merobek kain biru yang ada di Bendera Belanda dan menggantinya menjadi merah putih. Rasanya perjuangan para pahlawan tersebut menjadi sia-sia.
Tapi apapun itu saya cukup mengapresiasi pihak penyelenggara. Terimakasih karena telah membuat acara yang begitu luar biasa. Menciptakan citra positif Indonesia di mata dunia. Terimakasih.
Akhir kata, mohon maaf apabila tulisan saya menyinggung pihak-pihak tertentu. Sungguh saya tidak ada maksud untuk itu. Ini semua hanya sebatas opini pribadi.
Yuk ah ces dulu biar ga slek! 😉
*NB : udah ngecek closing ceremony di Incheon kemarin. Dan agak sedikit kecewa karena bendera kita dipasangnya kok jadi vertikal gitu ya. Entah pengaruh angin atau posisi kamera. Terus kenapa kemarin kita ga ngikutin gaya korsel aja yaa.. Jadi walaupun mengibarkan bendera negara lain, disampingnya tetap berdiri kokoh bendera bangsanya sendiri. Yaa mungkin lebih ke alasan teknis atau mungkin kurang lahan ya. Walau hal yang menyangkut harga diri suatu bangsa itu, ga sepatutnya dianggap remeh sih.. IMHO loh yaa 😅
Waktu menunjukkan Pk 20.00 WITA, kami mencoba memindahkan channel ke NET Tv. Syukurlah ternyata channel tersebut tidak ikut dibuat blank.
Diawali persembahan marching band dari angkatan bersenjata Republik Indonesia. Terjalin kerjasama apik antara TNI-Polri, bagi warga sipil seperti saya, itu pemandangan yang cukup bikin adem. Setelah itu, dilanjutkan dengan parade atlet, pelatih, official team sampai volunteer yang masuk dalam satu lingkaran besar. Mungkin tujuannya untuk memperlihatkan kepada pemirsa, semuanya bersatu untuk memeriahkan asian games, semuanya pun tampak bahagia tampil di penutupan asian games dan pada akhirnya semuanya adalah pemenang.
Semuanya berjalan sebagaimana mestinya, sampai disaat penyerahan obor dan bendera asian games ke tuan rumah berikutnya. Bagi saya tindakan tersebut sampai disini tidak begitu masalah. Menjadi membuat saya tergelitik kala bendera tuan rumah berikutnya dikibarkan disatu tiang panjang utuh. Kok saya jadi sedih ya? Apa memang suatu keharusan mengibarkan bendera tuan rumah berikutnya disetiap upacara penutupan asian games? Ini yang tidak saya ketahui. Nanti mungkin jika sampai di kota, saya akan lihat closing ceremony asian games 2014 di Incheon. Apakah merah putih kala itu pun berkibar dengan begitu gagahnya di Korea Selatan? Kalau memang hal tersebut merupakan tradisi, ya apa boleh buat. Toh kasarnya bendera kita juga pernah berkibar di satu tiang panjang utuh, dikibarkan dan disaksikan oleh bangsa lain (dalam hal ini Korea Selatan). Tapi jika tidak sampai sebegitunya, jujur saya cukup kecewa.
Ini bukan karena bendera China yang berkibar ya. Saya tidak diajarkan untuk se-rasis itu. Andai yang berkibar bendera Saudi Arabia pun, saya akan sama sedihnya. Karena bagi saya pengibaran bendera itu adalah sesuatu yang sakral. Itu menyangkut kedaulatan. Ketika kita mengibarkan bendera negara lain, berarti kita mengakui negara tersebut. Rasanya seperti terjajah kembali.
Saya jadi ingat tragedi di Surabaya, kala prajurit kita menerobos Hotel Yamato, lalu merobek kain biru yang ada di Bendera Belanda dan menggantinya menjadi merah putih. Rasanya perjuangan para pahlawan tersebut menjadi sia-sia.
Tapi apapun itu saya cukup mengapresiasi pihak penyelenggara. Terimakasih karena telah membuat acara yang begitu luar biasa. Menciptakan citra positif Indonesia di mata dunia. Terimakasih.
Akhir kata, mohon maaf apabila tulisan saya menyinggung pihak-pihak tertentu. Sungguh saya tidak ada maksud untuk itu. Ini semua hanya sebatas opini pribadi.
Yuk ah ces dulu biar ga slek! 😉
*NB : udah ngecek closing ceremony di Incheon kemarin. Dan agak sedikit kecewa karena bendera kita dipasangnya kok jadi vertikal gitu ya. Entah pengaruh angin atau posisi kamera. Terus kenapa kemarin kita ga ngikutin gaya korsel aja yaa.. Jadi walaupun mengibarkan bendera negara lain, disampingnya tetap berdiri kokoh bendera bangsanya sendiri. Yaa mungkin lebih ke alasan teknis atau mungkin kurang lahan ya. Walau hal yang menyangkut harga diri suatu bangsa itu, ga sepatutnya dianggap remeh sih.. IMHO loh yaa 😅
Langganan:
Komentar (Atom)