Rabu, 01 Juni 2011

Satu Jam Saja

Awalnya saya sedang pindah-pindah channel televisi di sela-sela mengerjakan pbl. Tanpa sengaja ada stasiun televisi swasta yang sedang memutar film Satu Jam Saja. Sebenarnya saya kurang tertarik dengan film ini. Ide ceritanya yang (awalnya) saya pikir terlalu 'sederhana'. Tapi karena kemarin masuk nominasi IMA, saya jadi sedikit penasaran. :D

Saya cukup 'telat' sih nontonnya. Karena ketika saya menonton itu, sudah sampai scene dimana Andhika Pratama sedang merengek-rengek pada Vino G.Bastian untuk bertemu dengan Revalina S.Temat. Tapi tentu saja, hal tersebut tidak menghalangi saya untuk tidak mengkritisi film tersebut.
Sebenarnya film ini tidak bisa dikatakan buruk, tapi tidak juga sampai membuat saya memberikan 'standing applause'. Biasa yang tidak biasa. Mungkin itu ungkapan yang tepat untuk menggambarkan film ini. Biasa karena cara penggarapannya yang tidak membuat para penonton menjadi tercengang. Tapi juga tidak biasa, mengingat genre film tersebut agak 'melawan arus'. Bayangkan saja, saat para produser film berlomba-lomba membuat film dengan genre 'horor plus plus' ataupun 'komedi plus plus', Karnos Film secara berani membuat film bergenre drama yang memang jika dihitung-hitung kurang memiliki kans untuk dapat bersaing dipasaran akhir-akhir ini.
Kembali ke film, apa yang sebenarnya membuat saya kurang puas dengan film ini? Terlalu tanggung. Itulah jawabannya. Semua yang ada di film ini kalau menurut saya terlalu tanggung. Mulai dari segi sound effect, akhir cerita, akting para pemain (kecuali Vino G.Bastian) itu cenderung setengah-setengah. Kurang lepas. Jujur saja, saya cukup kecewa dengan akting Revalina S.Temat yang kalau dari kacamata saya kok terlihat kaku. Kaya masih amatir. Sangat berbeda ketika dia memerankan tokoh Annisa di film Perempuan Berkalung Sorban. Memang sih kalau melihat aktingnya di ftv-ftv, tidak bisa dikategorikan bagus juga. Tapi ini kan film, yang penggarapannya (tentunya) jauh lebih matang. Hal-hal tersebut harusnya dapat dimininalisir.
Lalu sound effect. Sound effect-nya memang begitu minimalis. Mungkin efek dari keterbatasan dana yang dimiliki. Tapi ini memang sangat disayangkan. Mengingat sound effect (kalau menurut saya) memiliki peran yang cukup vital dalam suatu film. Sound effect, tak bisa dipungkiri, sangat membantu para pemain dalam menyampaikan pesan yang ingin disampaikan. Membuat (kami) para penonton, begitu larut dengan ide cerita yang ditawarkan. Itu pula lah yang membuat saya selalu jatuh cinta dengan film-film karya Hanung Bramantyo. Sound effect-nya maksimal.
Dan yang membuat saya kecewa (begitu mendalam) adalah ending. Bukan karena akhir cerita yang sad ending. Tapi proses sebelumnya. Saya sangat berharap, sebelum meninggal Revalina S.Temat akan 'membalas' perasaan Vino G.Bastian. Setidaknya ungkapan itu akan melegalkan pernyataan Vino G.Bastian, "meski cuma satu jam saja" (yang terkesan 'maksa' untuk disisipkan pada setiap dialog). Ending yang seperti itu memang membuat film ini tidak memiliki klimaks. Sangat disayangkan mengingat ide yang ditawarkan (pada akhirnya) cukup menarik. Saya sendiri kurang mengerti alasannya. Mungkin karena penulisnya tidak ingin ada anti-klimaks di akhir cerita. Tapi hal tersebut memang hanya akan membuat (kami) para penonton, mengakhiri film dengan perasaan yang 'mengganjal'.
Terlepas dari itu, saya cukup mengapresiasi film ini. Setidaknya film ini melegalkan paham saya, bahwa :
"Tidak ada manusia yang jahat sebenarnya di dunia ini. Karena setiap manusia itu pasti punya yang namanya hati nurani"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar