Sebenarnya ini gara-gara kemarin. Di perjalanan pulang tak sengaja saya mendengar Menulis Cinta-nya Mbak Ubiet dengan Dian HP yang begitu luar biasa. Setelah ditelaah lebih jauh, ternyata liriknya itu berasal dari puisi Sitok Srengenge. Jujur, nama ini masih asing ditelinga saya. Mungkin karena saya cenderung membaca karya sastra angkatan 50-70' an.
Membaca Menulis Cinta-Sitok Srengenge, membuat saya membandingkannya dengan Aku Ingin-SDD. Mengapa? Karena keduanya sama-sama mengangkat hal yang tak kan lekang termakan zaman, tak kan jengah tuk diperbincangkan, CINTA. Belum lagi puisi keduanya sama-sama pernah dimusikalisasi oleh musisi-musisi ternama di Indonesia. SDD dengan Aku Ingin-nya pernah di aransemen ulang (pertama kali musikalisasi SDD itu dibuat oleh Ags. Arya Dipayana) oleh Dwiki Dharmawan untuk dijadikan soundtrack film Cinta Dalam Sepotong Roti. Sedangkan, Menulis Cinta-Sitok Srengenge (seperti yang tertulis di atas) baru-baru ini 'dibuatkan musiknya' oleh Dian HP.
Tapi sensasi yang ditawarkan keduanya tak sama. Menikmati musikalisasi kedua puisi tersebut sama-sama menyenangkan sebenarnya. Hanya saja asal dari perasaan menyenangkannya itu yang berbeda.
Saat mendengarkan musikalisasi Aku Ingin, yang membuatnya terasa menyenangkan adalah lirik yang disajikan. SDD dengan kata-kata sederhana-nya, membuat pendengar merasakan sedalam apa cinta yang ditawarkan.
Setiap kata pada baitnya membuat para pembaca merah dimuka. Membuat bulu kuduk yang ada, berdiri semua. Karena memang terlalu manis.. :D
Sensasi ini berbeda dengan musikalisasi Menulis Cinta. Bukan liriknya yang menentramkan jiwa. Atau setiap kata yang membuat roh wanita keluar dari sarangnya. Bukan. Tapi musik yang ditawarkan. Begitu lembut, mendayu, mendatangkan ketentraman dalam kalbu. Ini indah.
Tapi bukan berarti puisi Sitok Srengenge tidak indah, bukan. Hanya saja memang kurang menggetarkan.
Cinta yang ditawarkannya pun berbeda. Seperti cinta anak muda. Cinta yang masih hijau. Seseorang yang baru mengenal cinta. Like puppy love. Berlawanan dengan SDD yang menawarkan keabadian di dalamnya cinta.
SDD with 'eternal love' nya dan Sitok Srengenge with 'puppy love'.. Eternal love lebih membuat kita melayang tentunya.. :)
Membaca Menulis Cinta-Sitok Srengenge, membuat saya membandingkannya dengan Aku Ingin-SDD. Mengapa? Karena keduanya sama-sama mengangkat hal yang tak kan lekang termakan zaman, tak kan jengah tuk diperbincangkan, CINTA. Belum lagi puisi keduanya sama-sama pernah dimusikalisasi oleh musisi-musisi ternama di Indonesia. SDD dengan Aku Ingin-nya pernah di aransemen ulang (pertama kali musikalisasi SDD itu dibuat oleh Ags. Arya Dipayana) oleh Dwiki Dharmawan untuk dijadikan soundtrack film Cinta Dalam Sepotong Roti. Sedangkan, Menulis Cinta-Sitok Srengenge (seperti yang tertulis di atas) baru-baru ini 'dibuatkan musiknya' oleh Dian HP.
Tapi sensasi yang ditawarkan keduanya tak sama. Menikmati musikalisasi kedua puisi tersebut sama-sama menyenangkan sebenarnya. Hanya saja asal dari perasaan menyenangkannya itu yang berbeda.
Saat mendengarkan musikalisasi Aku Ingin, yang membuatnya terasa menyenangkan adalah lirik yang disajikan. SDD dengan kata-kata sederhana-nya, membuat pendengar merasakan sedalam apa cinta yang ditawarkan.
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana :Cinta yang tak bersyarat, menurut saya. Cinta yang juga rela berkorban pada kalimat 'yang menjadikannya abu' atau 'yang menjadikannya tiada'.
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dnegan sederhana :
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada"
Setiap kata pada baitnya membuat para pembaca merah dimuka. Membuat bulu kuduk yang ada, berdiri semua. Karena memang terlalu manis.. :D
Sensasi ini berbeda dengan musikalisasi Menulis Cinta. Bukan liriknya yang menentramkan jiwa. Atau setiap kata yang membuat roh wanita keluar dari sarangnya. Bukan. Tapi musik yang ditawarkan. Begitu lembut, mendayu, mendatangkan ketentraman dalam kalbu. Ini indah.
Tapi bukan berarti puisi Sitok Srengenge tidak indah, bukan. Hanya saja memang kurang menggetarkan.
"Kauminta aku menulis cintaBerbeda dengan Aku Ingin yang membuat pembacanya bersemu dari awal sampai akhir, Menulis Cinta hanya melakukannya di akhir, 'sebab cinta adalah kau, yang tak mampu kusebut, kecuali dengan denyut'.
Aku tak tahu huruf apa yang pertama dan seterusnya
Kubolak-balik seluruh abjad
Kata-kata yang cacat yang kudapat
Jangan lagi minta aku menulis cinta
Huruf-hurufku, kau tahu,
bahkan tak cukup untuk namamu
Sebab cinta adalah kau, yang tak mampu kusebut
kecuali dengan denyut"
Cinta yang ditawarkannya pun berbeda. Seperti cinta anak muda. Cinta yang masih hijau. Seseorang yang baru mengenal cinta. Like puppy love. Berlawanan dengan SDD yang menawarkan keabadian di dalamnya cinta.
SDD with 'eternal love' nya dan Sitok Srengenge with 'puppy love'.. Eternal love lebih membuat kita melayang tentunya.. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar